Rabu, 11 Februari 2015

REPDEM Kawal Jokowi-JK Tanpa Hilangkan Daya Kritis

LENSAINDONESIA.COM: Relawan Perjuangan Demokrasi Indonesia (Repdem) memastikan mengawal program pemerintah Jokowi-JK. Meski begitu, daya kritis yang menjadi ciri organisasi ini tak serta merta ditanggalkan.

Ketua Bidang Penggalan Tani Dewan Pimpinan Nasional Repdem, Sidik Suhada, dalam materi yang disampaikannya pada acara seminar ‘Peran Pemuda dalam Pelaksanaan UU no 16/2014 tentang Desa, Sabtu (07/02/2015), menegaskan, mindset para aktivisis Repdem harus berubah lantaran PDI Perjuangan saat sekarang telah menjadi partai pendukung pemerintah. Apalagi Repdem tercatat sebagai salah satu organisasi sayap partai berlambang banteng moncing tersebut.

“Itu konsekwensi logis karena PDI Perjuangan berhasil menghantarkan Joko Widodo sebagai presiden RI. Tapi nalar kritis tetap harus digunakan. Jika ada kebijakan yang nyata-nyata menyimpang dari Trisakti Bung Karno, tentu harus ditolak,” tegas Sidik Suhada di Kantor DPC PDIP Sidoarjo.

Dalam konteks program membangun Indonesia dengan memperkuat pembangunan desa seperti tertuang dalam Nawacita Jokowi, lanjut Sidik, aktivis Repdem dituntut untuk memberikan pemahaman yang utuh kepada masyarakat desa.

“Mesti mendampingi. Tapi jika ada hak rakyat yang terampas dalam proses itu, kader-kader Repdem harus menjadi bagian dari perjuangan rakyat itu sendiri, bukan sekadar menjadi pendamping,” tandasnya.

Narasumber lainnya, Agatha Retnosari dari Komisi E DPRD Jatim berharap, kader Repdem bisa memotret secara tepat potensi yang ada di tiap-tiap desa. “Sehingga kader-kader Repdem mampu memberikan kontribusi yang solutif dalam pembangunan desa,” katanya.

Seminar digelar di Sekretariat DPC PDI Perjuangan Sidoarjo diikuti puluhan peserta. Menurut Ketua DPC Repdem Sidoarjo, Andre Vigianto, peserta adalah kader-kader Repdem yang tersebar di 12 dari 18 kecamatan yang ada di Sidoarjo. Sebelumnya, belasan pemuda dilantik DPN Repdem menjadi pengurus DPC Repdem Sidoarjo periode 2015-2020.@ridwan_LICOM

Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2015/02/08/repdem-kawal-jokowi-jk-tanpa-hilangkan-daya-kritis.html

Jokowi Didesak Batalkan Usulan Perubahan UUPA

Bisnis.com, MALANG--Presiden Jokowi diminta segera hentikan usulan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan tentang Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-undang No.5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria.

Sidik Suhada, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-REPDEM) Bidang Penggalangan Tani, mengatakan jika usulan perubahan UUPA oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang disetujui oleh DPR, tentu akan menjadi bencana besar bagi kedaulatan nasional.

“Mengubah UUPA itu sama saja dengan memberikan karpet merah untuk meliberalisasi semua sumber-sumber pokok agraria atau sumber daya alam yang ada di Indonesia,” kata Sidik dalam pernyataan resminya Jumat (6/2/2015).

Artinya lanjut dia orang-orang yang mengusulkan perubahan terhadap UUPA itu sebenarnya sedang membangun sekenario untuk menjual segala kakayaan alam yang ada di Indonesia untuk kepentingan asing.

Sebab UUPA tahun 1960 memiliki semangat nasionalisme yang sangat tinggi, anti kolonialime, anti monopoli dan anti terhadap eksploitasi manusia atas manusia.

“Sehingga keberadaan UUPA dianggap sebagai penghalang utama bagi terciptanya pasar tanah (land market),” jelas dia.

Dengan digantinya UUPA tersebut mereka berharap ada kebijakan pertanahan terkait persoalan tanah yang bersahabat dengan pasar. Atas dasar itulah Bank Dunia dan ADB berusaha memromosikan serta bersedia membiayai satu proyek bernama Land Administration Project (LAP) dan Land Management and Planning Development Project (LMPDP).

Namun tujuan proyek itu adalah untuk mengembangkan dasar-dasar kebijakan bagi mekanisme dan operasi pasar tanah yang bebas (free land market).

Proyek ini memiliki tiga bagian yakni registration tanah baik secara sistematik maupun sporadik yang disebut dengan project Part-A, studi mengenai pendaftaran tanah-tanah komunal yang disebut project Part-B dan review kebijakan pertanahan yang disebut dengan project Part-C.

“Target utama dalam LAP Part C itu adalah mengembangkan suatu sistem hukum agraria yang terintegrasi dalam jalur orientasi pasar bebas dan investasi serta mengubah UUPA No.5/1960 yang anti liberalisme dan tidak pro pasar liberal,” ujarnya.
Usulan perubahan terhadap UUPA sebenarnya bukan kali pertama terjadi namun sudah sering dilakukan oleh para agen kepentingan asing yang ada di Indonesia.

Alasannya beraneka ragam mulai dari menganggap UUPA sudah tidak up to date, melahirkan konflik agrarian dan berbagai argumentasi lainnya yang intinya agar UUPA bisa direvisi atau diganti.

“Padahal maraknya konflik agraria itu bukan karena keberadaan UUPA. Banyaknya konflik agraria itu karena UUPA selama ini tidak dijalankan dengan baik,” tambah dia.

Sebagai Menteri Agraria Ferry Mursidan Baldan harusnya dapat memahami bahwa UUPA No.5/1960 adalah benteng hukum terakhir dan satu-satunya UU yang mengatur persoalan pembaruan agraria yang pro keadilan sosial.

Karena UUPA adalah implementasi dari sila kelima Pancasila dan pasal 33 UUD 1945. Karena itu hingga saat ini UUPA masih dinilai sebagai produk hukum terbaik yang dilahirkan oleh para anak bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial setelah Indonesia merdeka.

Editor : Ema Sukarelawanto
Sumber: http://surabaya.bisnis.com/m/read/20150207/8/78164/jokowi-didesak-batalkan-usulan-perubahan-uupa

berita terkait:
http://lintas7.com/repdem-awas-ada-kepentingan-asing-dibalik-usulan-perubahan-uupa/

http://lintas7.com/repdem-awas-ada-kepentingan-asing-dibalik-usulan-perubahan-uupa/

http://surabaya.bisnis.com/m/read/20150209/4/78190/-kpa-dukung-ruu-reforma-agraria

Kamis, 22 Mei 2014

Sindonews.com - Peraturan Presiden (Perpres) No 39/2014 yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai hanya akan meraksasakan kepentingan modal asing.

Perpres yang mengatur daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal tersebut, hanya akan "membunuh" kehidupan ekonomi masyarakat tani di Indonesia.

Sebab, spirit yang dikokohkan dari implementasi UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal tersebut adalah meliberalisasikan sektor agraris (pertanian).

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan, liberalisasi pertanian dengan kepemilikan modal asing 30-95 persen, sama halnya negara menciptakan gladiator ekonomi.

"Ibaratnya para petani dilempar ke tengah gelanggang gladiator. Singa-singa pemodal asing yang lapar akan dengan mudah menerkam dan mengoyaknya," ujar di kepada Sindo, Jumat (9/5/2014).

Usaha para petani lokal yang sebelumnya kembang kempis dan masih perlu perlindungan tangan negara, kata Sidik akan semakin tersingkir. Para modal asing yang hadir dengan wajah korporasi akan melumatkan seluruh urat nadi ekonomi petani lokal.

Mereka akan mengubah sektor riil pertanian menjadi industrialisasi dan sepenuhnya menghegemoni. Cita-cita kemandirian ekonomi, berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, papar aktivis sayap PDI Perjuangan itu, ibarat semakin menjauhnya panggang dari api.

"Secara otomatis usaha pertanian rakyat di dalam negeri akan mati. Ini akan semakin merapuhkan struktur ekonomi nasional," jelas dia.

Dampak sistemik berikutnya, jumlah rumah tangga petani (RTP) di pedesaan akan terus berkurang. Identitas masyarakat agraris akan berganti menjadi buruh tani.

Sementara, mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, jumlah RTP selama 10 tahun terakhir (2003-2013) berkurang 16 persen atau sekitar 5,04 juta jiwa.

Bahkan dalam satu tahun terakhir ini, sesuai data BPS per Februari 2014, sebanyak 280 ribu orang berusia kerja produktif tidak lagi menjadi petani.

"Ini dampak nyata dari kebijakan pemerintah yang tidak pro petani. Sektor pertanian kerakyatan tidak lagi menjanjikan. Dan masyarakat memilih menjadi buruh di perkotaan," ujarnya.

Dibandingkan dengan kepedulian pemerintah terhadap usaha pertanian korporasi sangat berbeda. Setidaknya dapat dilihat dari peningkatan jumlah perusahaan perusahaan pertanian berbadan hukum.

Pada tahun 2003 total jumlah perusahaan pertanian di Indonesia tercatat sebanyak 4.011 unit. Pada 2013 jumlah tersebut naik menjadi 5.490 ribu atau 36,77 persen. Selama 10 tahun berkuasa, Sidik menuding SBY telah gagal membangkitkan usaha sektor pertanian.

Penyebab kegagalan, karena SBY tidak bersedia melaksanakan pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan amanat UUPA No 5 tahun 1960. Tanpa dilaksanakanya pembaharuan agraria, kedaulatan nasional dibidang pertanian tidak akan pernah terwujud.

"Puncaknya diterbitkanya Perpres 39 Tahun 2014 menjelang akhir kekuasaanya. Presiden SBY telah mengukuhkan diri sebagai perpanjangan tangan penjajahan model baru," terang Sidik.

Juru bicara Solidaritas Masyarakat Desa (Sitas Desa) Blitar Farhan Mahfudzi menambahkan, di akhir kekuasaannya, pemerintahan SBY masih banyak meninggalkan kasus sengketa agraria yang tidak tuntas.

Khususnya di Kabupaten Blitar, tidak sedikit kasus yang justru menuai hasil yang merugikan masyarakat tani.

"Misalnya kasus di wilayah Blitar selatan atau di wilayah Kecamatan Ponggok. Justru keputusan pemerintah lebih menguntungkan pemilik modal dan institusi yang menjadi lawan masyarakat petani," kata dia (izz)

Sumber: http://ekbis.sindonews.com/read/2014/05/09/34/862066/sby-dinilai-gagal-bangkitkan-usaha-sektor-pertanian

Liberalisasi Pertanian Ancam Petani Lokal

Bisnis.com, MALANG - Peraturan Presiden No.39/2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2014 dinilai bisa menghancurkan usaha petani.

Perpres tersebut mengatur tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani, Sidik Suhada, mengatakan kebijakan tersebut akan berdampak negatif terhadap kemandirian bangsa.

“Karena ketergantungan terhadap modal asing akan besar dan akan menghancurkan usaha ekonomi para petani,” kata Sidik dalam pernyataan resminya ke Bisnis, Rabu (7/5/2014).

Pasalnya kebijakan perpres tersebut secara otomatis akan menyingkirkan para petani dan menjauhkan usaha pertanian rakyat yang ada di dalam negeri.

Dalam perpres itu usaha pertanian rakyat yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah justru dijadikan salah satu bidang usaha yang dapat diliberalisasi dengan kepemilikan modal asing sebanyak 39%-95%.

Dengan ditandatanganinya perpres yang merupakan implementasi pelaksanaan Undang-undang No.25/2007 tentang Penanaman Modal itu usaha petani lokal yang selama ini sudah kembang kempis akan semakin tersingkir.

“Perpres tersebut juga seolah semakin menyediakan karpet merah untuk meliberalisasi semua sektor yang ada,” jelas dia.
Padahal dengan melibatkan modal asing yang dominan di sektor pertanian tentu akan semakin memperburuk usaha pertanian dan merapuhkan bangunan struktur ekonomi nasional.

Selain itu dengan dibukanya modal asing di usaha industri pertanian, akan membawa perubahan pada aktor pertanian pangan yang selama ini dikelola secara mandiri oleh petani di pedesaan. Kondisi ini akan berubah ke arah penguasaan industrialisasi pertanian yang dipegang dan dimiliki oleh korporasi.

“Sehingga jumlah rumah tangga petani di pedesaan akan terus berkurang dan berganti menjadi buruh tani,” ujarnya.

Editor : Wahyu Darmawan
Sumber: http://surabaya.bisnis.com/read/20140507/10/71141/liberalisasi-pertanian-ancam-petani-lokal

Selasa, 19 November 2013

Ratusan Ribu Petani Jatim "Hilang" Setiap Bulan



Sindonews.com - Jumlah Rumah Tangga berbasis sumber ekonomi agraris (petani) di Jawa Timur terus mengalami penyusutan.

Dalam 10 tahun terakhir, ada sebanyak 1.320.000 rumah tangga petani di Jatim yang hilang, atau rata-rata 132.000 dalam setiap bulanya.

Lahan sempit yang tidak lagi menguntungkan menjadi alasan utama bagi petani memilih jalan hidup sebagai kaum urban (kota) yang bergantung pada sektor perburuhan.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN REPDEM) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada Rasionalitas penyusutan angka tersebut terjelaskan dari penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur.

Bahwa tercatat dari 6,3 juta rumah tangga petani pada tahun 2003 berkurang menjadi 4,98 juta pada Mei 2013.

"Sementara hidup di kota juga tidak menjanjikan mengingat harga buruh juga murah, "ujarnya kepada SINDO, Selasa (19/11/2013).

Secara nasional, masih data BPS jumlah rumah tangga petani yang berkurang selama 10 tahun terakhir sebanyak 5,04 juta.

Sebab pada tahun 2003, keluarga petani  masih  31,17 juta. Namun berkurang menjadi 26,13 juta pada tahun 2013.

Artinya,  terjadi pengurangan rata-rata 500.000 keluarga petani setiap tahunnya. Fenomena sosial ini, lanjut Sidik, membawa dampak langsung pada fluktuasi angka pengangguran di Jawa Timur.

Hal itu mengingat pertanian merupakan sektor paling besar menyerap tenaga kerja  dibanding sektor lain.
Sesuai BPS, sektor pertanian menerima sebanyak 7,378 juta jiwa petani baru. Ini penyerapan tenaga kerja tertinggi.

Kemudian  sektor perdagangan sebanyak 4,007 juta orang, sektor industri pengolahan 2,851 juta orang dan sektor jasa kemasyarakatan  2,631 juta orang.

"Namun angka pengangguran justru meningkat dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan ini terkait erat dengan hilangnya rumah tangga petani, "jelas Sidik.

Pada tahun 2013 sebanyak 871.000 orang dikelompokkan ke dalam  pengangguran terbuka atau 4,33 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 19,90 juta jiwa. 

Jumlah ini lebih besar dibandingkan data Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan Propinsi Jawa Timur tahun 2012 yang menyebut angka pengangguran terbuka sebanyak 813.000 orang atau sekitar 4,12 persen dari total angkatan kerja.

Sementara jumlah angkatan kerja untuk tahun 2013 ini  bertambah  240.000 atau sebanyak 20.140.000 orang per Agustus 2013 dari 19.900.000 per Agustus 2012.

Menurut Sidik, tingginya penyerapan tenaga kerja dari sektor agraris, menunjukkan pertanian mampu menjadi solusi riil menekan angka pengangguran.

Namun dengan adanya fakta penyusutan rumah tangga petani, memperlihatkan pemerintah tidak memiliki kebijakan yang memihak kaum agraris. Pemerintah justru terkesan melakukan pembiaran terjadinya penyusutan jumlah rumah tangga petani.

"Dampaknya tidak hanya pengangguran tapi juga krisis pangan," tegas Sidik. 

Solusi satu satunya, pemerintah harus segera melakukan pembaruan agraria sebagaimana amanat UUPA No.5 Tahun 1960 dan amanat TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

"Termasuk juga di dalamnya mengembalikan tanah rakyat kepada rakyat. Terutama yang terjadi di daerah sengketa yang menghadapkan petani dengan pemilik modal atau alat negara," pungkasnya.

Hal senada disampaikan Juru Bicara Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) Farhan Mahfudzi, banyaknya petani yang dikalahkan dalam sengketa lahan membuat mereka berbondong-bondong meninggalkan tanah garapan.

"Sementara bagi petani, tanah tidak hanya sekedar kapital, tapi juga sumber kehidupan yang memiliki ikatan emosional,  historis dan budaya yang erat, "ujarnya. (lns)


Angka Pengangguran Terbuka di Jatim 871.000 Orang




bisnis-jatim.com, MALANG—Jumlah angka pengangguran terbuka di Jawa Timur pada 2013 meningkat cukup tajam jika dibandingkan dengan 2012. Untuk itu pemerintah perlu menekan angka pengangguran dengan menjalankan reforma agraria.

Sidik Suhada, Ketua Gerakan Nasional Desa Sejahtera, mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim), angka pengangguran 2013 tercatat sedikitnya 871.000 orang menjadi pengangguran terbuka atau 4,33% dari total angkatan kerja yang berjumlah 19,90 juta jiwa.

“Sementara data yang dikeluarkan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan Provinsi Jatim pada 2012, angka pengangguran terbuka tercatat sebanyak 813.000 orang atau sekitar 4,12%  dari total angkatan kerja,” kata Sidik di Malang, Jumat (15/11/2013).

Sedangkan jumlah angkatan kerja pada 2013  juga terus bertambah sebanyak 240.000 atau sebanyak 20.140.000 orang per Agustus 2013 dari 19.900.000 orang per Agustus 2012.

Sesuai dengan data BPS, jika dilihat dari lapangan pekerjaan ada empat sektor yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar yakni pertanian (7,378 juta), perdagangan (4,007 juta), industri pengolahan (2,851 juta) dan sektor jasa kemasyarakatan (2,631 juta).

“Sektor pertanian yang mampu menyerap tenaga kerja tertinggi. Namun dalam 10 tahun terakir rumah tangga petani di Jatim justru menurun drastis,” jelas dia.

Pada 2003 sedikitnya terdapat 6,3 juta rumah tangga petani. Sementara pada Mei 2013 rumah tangga petani di Jatim hanya tinggal 4,98 juta rumah tangga petani.

Dengan demikian selama 10 tahun terakhir rumah tangga petani hilang sebanyak 1.320.000 atau setiap hari berkurang sebanyak 132.000 rumah tangga petani.

“Berkurangnya rumah tangga petani di Jatim ini tentu sangat memprihatinkan. Hal itu menunjukkan jika pemerintah tidak punya kebijakan untuk melindungi petani,” ujarnya.

Dampaknya bukan hanya angka pengangguran yang meningkat, namun krisis pangan juga akan mengancam. Untuk menjawab persoalan pangan tidak seharusnya Indonesia mengimpor bahan pangan.

Karena itu pemerintah perlu segera melaksanakan pembaruan agrarian agar persoalan krisis pangan dan ancaman ledakan pengangguran dapat teratasi dengan baik.

“Jika reforma agraria dijalankan, gairah hidup petani akan bangkit kembali. Ekonomi bisa tumbuh hingga ke desa-desa dan industri pertanian kolektif yang dikelola oleh petani dapat tercipta,” tambahnya.


Senin, 02 September 2013

REPDEM Desak Pemerintah Tinggalkan Impor Pangan

Lonjakan Harga Kedelai Bukti Kegagalan Pemerintah Kelola Pertanian

LENSAINDONESIA.COM: Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-REPDEM) Bidang Penggalangan Tani menilai, melonjaknya harga kedelai di pasaran murni sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam mengelola pertanian di Indonesia.
“Akibat kegagalan itu, sebagai negara agraris yang memiliki tanah subur dan sumber daya manusia (SDM) melimpah di pedesaan, Indonesia menjadi negara yang sangat bergantung pada bahan pangan impor,” kata Sidik kepada LICOM, Minggu (01/09/2013).
Menurut Sidik, kegagalan dalam mengelola pertanian itu kian bertambah seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. “Tingginya harga kedelai itu dampak dari melemahnya rupiah terhadap dolar. Karena selama ini pemerintah tergantung pada kedelai impor. Sehingga ketika rupiah anjlok, harga kedelai pun melambung tinggi,” bebernya.
Sidik menambahkan, dengan melemahnya nilai tukar rupiah bisa jadi tragedi krisis pangan di Indonesia akan terjadi. Bahan pangan langka, harga melambung. Karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan mendorong tingginya biaya impor, sehingga berdampak pada tingginya harga pangan impor.
“Jika Indonesia ingin segera keluar dari bencana krisis pangan ini dan tidak tergantung pada bahan pangan impor, solusinya, pemerintah harus segera meninggalkan ketergantungan pada bahan pangan impor sebagai solusi mengatasi ketahanan pangan nasional. Pemerintah harus segera mengubah haluan dari membangun ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan,” ungkap Sidik.
Sementara itu, kedaulatan pangan ini hanya bisa dicapai dengan cara kembali pada UU Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. “Hanya denga cara menjalankan reformasi agraria atau pembaruan agraria sebagaimana amanat UUPA itulah, kedaulatan pangan nasional akan dapat dicapai. Kesejahteraan petani tercipta, pemerataan pembangunan pun terwujud hingga pelosok-pelosok desa,” paparnya.
Namun, solusi ini nampaknya tidak akan pernah diambil oleh pemerintah sekarang. Karena, watak dari pemerintahan yang ada saat ini bermental calo atau makelar. Sehingga, pemerintah lebih suka impor bahan pangan daripada harus membangun kedaulatan pangan secara mandiri. “Karena, dengan tetap melakukan impor, para calo dan maklar ini akan tetap bisa mendapatkan fee tanpa harus bekerja keras,” tegasnya.
Karena itu, jika Indonesia ingin keluar dari krisis pangan dan keluar dari ketergantungan impor pangan, selain harus menjalankan pembaruan agraria, birokrasi pemerintah juga harus segera dibersihkan dari watak calo dan maklear. Birokrasi pemerintah harus bersih dari para pemburu rente yang hanya mengutamakan keuntungan tanpa mengedepankan kepentingan nasional dan kepentingan bangsa.@aguslensa